Minggu, 05 Desember 2010

Lunasnya Janji Abimanyu

By MasPatikrajaDewaku


Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan debu mengepul diudara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama Abimanyu sudah ada dihadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.

“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali ini, ngger !” sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada sang menantu menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki formasi baris. Tetapi isi kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang seharusnya terjadi. Isi kitab itu lebih berpengaruh dalam benaknya.

Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya,

“ Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat terlibat dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua orang tua kami”

“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah, sekaranglah saatnya bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan gantilah dengan tata gelar baru”. Perintah sang uwa

“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya untuk ditempatkan pada garda depan”. Pinta Abimanyu

“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu Kresna menegaskan kepada Raden Drestajumna.

“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas permintaan anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !”. Demikian putusan Sang Senapati.

Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar kacir perlahan lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri sedangkan Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian kepala, sedangkan pada ekor adalah Wara Srikandi.

Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid. Demikian besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala para prajurit Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda Pramugari, bagaikan banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai mengerti segenap kemauan penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang mengurung. Gerakannya gesit bagai sambaran burung sikatan. Olah panah yang dimiliki penungangnya untuk menumpas musuh dari jarak jauh, dan keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama membawa puluhan korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi, Citradirgantara, Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah tewas. Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu. Walaupun tidak tedas, namun kerasnya pukulan anak panah menjadikannya ia muntah darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan.

Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan berkumandang dari mulut Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala dari Kusala.

Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun lawan, ia terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan. Gerakan Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat muda, tetapi dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan bahkan telah menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh rasa yang sudah kadung rendah diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama ia menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama. Tersambar Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak lama jatuh bergelimpang ke tanah.

Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang Sumitra yang maju bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati Karna. Niat Adipati Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak maju terlalu ketengah dalam pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap keponakannya kadang masih menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk mengusir keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah menuju ke kedua satria anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya. Gugurlah salah satu lagi putra Arjuna.

Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena panah Prabu Salya rebah menjadi kusuma negara.

Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas dalam waktu singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya Swarcas, membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu. Ditetapkan kemudian mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa akan maju bersama mengeroyok Abimanyu. Tak peduli hal itu tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga baru yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa.

Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja sakti dari berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang dengan senjata ditangan masing masing lawannya. Bahkan sesekali Abimanyu dapat mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke empat lawannya yang malah bagai dipedayai.

Kelihatanlah kekuatan masing masing pihak, tak lama kemudian.

Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu, sebab dari rasa kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada saat itulah Kyai Pulanggeni menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari atas punggung kudanya. Tiga lawan tersisa menjadi ciut nyalinya. Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu lawan Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya.

Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan mereka saling serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan Swarcas, jatuh terguling tak bangun lagi.

Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang barusan sudah terjadi.

“Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka !”. kata kata Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya dentam detak jantung kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai dirinya lagi.

Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya dari kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-asaan, membuat Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua. Tanpa membuang waktu lagi, disudahi pertempuran keroyokan itu dengan sekali ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri keduanya mau tak mau membuat hampir semua mata mengarahkan pandangannya kearah kejadian.

Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam hatinya ia mengatakan,

“Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya. Kalau hal seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. . !”.

Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal akalannya,

“Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?”

“Eee. . . kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya. Pasti setuju!” Sangkuni mengamini.

“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus teruskan, maka akan kalah kita . Minta pendapatnya nak angger Adipati! ”. Seakan Durna minta pertimbangan, padahal didalam otaknya sudah tersimpan rencana licik bagaimana cara mengatasi keadaan yang sudah mengkawatirkan itu.

“Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab Narpati Basukarna sekenanya.

“Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak angger yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah yang dapat mengatasi masalah ini”. Durna mulai membuka strategi.

“Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” berat hati Karna menyahut.

“Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian Anak Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan gampang langkah kita”. Pandita Durna menjelaskan strateginya.

“Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing”. Adipati Awangga itu segera melangkah menjalankan strategi yang telah dirancang.

Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran bendera putih Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan terhenti. Dalam hati para prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang dihentikan? Sementara orang mengerti, bila perang terus berlanjut, maka kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu.

Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu:

“Berhentilah anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja sudah dapat membuat takluk barisan Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan hangat, layaknya seorang paman terhadap keponakan yang telah berhasil berbuat hal yang menakjubkan.

“Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah takluk, dan memang demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang senapati takluk terhadap lawan”. Bangga Abimanyu.

Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan kemampuan memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah ulung. Dibidiknya punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu dengan darah menyembur dari lukanya.

Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang terluka, mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk diberi laporan.

“Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu terluka dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri urusan lagi”. Tutur Adipati Karna.

Terkekeh kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil. Pikirnya biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar dicapai kembali. Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan.

Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju menyongsong serangan.

“Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang. Akan aku kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau Duryudana sekalipun yang maju !!”.

Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih lantang dan berdirinya masih tetap tegar.

Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya, aba aba keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh warga Kurawa, sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta trisula bertubi tubi. Dalam waktu singkat, segala macam senjata menancap ditubuh satria muda itu.

Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan amukannya. Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor landak, oleh banyaknya anak panah dan tombak yang menancap di sekujur tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria tampan ini bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh senjata seperti karangan bunga yang terrangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar mayang yang mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus yang memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti halnya untaian melati menghiasi pinggang.

Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya menjadi makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah Abimanyu, malah mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari turun menyaksikan kegagahan sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para bidadari, suasana yang dilihat bercampur dengan kembalinya denting padang yang beradu dan tetabuhan kendang, suling serta tambur penyemangat, bagaikan pesta penganten yang berlangsung dengan iringan gamelan berirama Kodok Ngorek!

Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga bahwa sang suami sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa bila ia berlaku poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun.

Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana raksasa boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia perkawinannya dengan Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau tak terjadi apapun akhirnya antar kedua istri pertama dengan madunya, namun sumpah tetaplah sumpah, ia berketatapan hati, inilah bayaran atas janjinya.

Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarjakusuma, putra Prabu Duryudana yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan. Padahal selamanya sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam keprajuritan, sehingga sifat penakutnya sangat kentara.

Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana menghina Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini memanjakannya, Abiseca dan Secasrawa.

Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat Abimanyu. Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru sakti yang akan dipamerkan kepada ayahnya.

“E . . e . . e . . . , Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku menjadi penganten bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil alih. Rama Prabu pasti gembira tiada terkira, kalau aku berhasil memotong lehermu”.

Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain main, ia maju semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit membiarkannya, memandang enteng kejadian didepan matanya.

Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat ide, tidak dapat membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh, maka akan hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah Sarjakusuma yang ingin segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, dengan tenaga terakhir , sang prajurit muda masih mampu menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada tembus ke jantung putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara, berbarengan dengan senyum terakhir mengembang dibibir prajurit muda gagah berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi janjinya.

Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan beda karakter bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum lama beranjak dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera menyingkirkan pahlawan mereka masing masing.

Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban menyusul ke peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan gugurnya sang suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi bersamanya , sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan didalam, seakan sang jabang bayi sudah tak sabar hendak mengikut kedalam perang besar keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari untuk ikut serta kemedan perang, terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di dalam gua garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk pergi.

Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur, jantung wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah palagan tanpa menghiraukan bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap bilah-bilah pedang dan runcingnya ujung tombak. Sesampai di hadapan jenasah suaminya yang tetancap ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan keadaannya yang begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas dan kemudian tak sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya sang istri prajurit muda itu.

Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung didahan tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan sulur gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu, seperti bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi kusuma negara yang gugur, di lepas siang .

Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang terselip dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit muda, Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga tangga kesucian abadi menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

(Bersambung)

Dihimpun dari pengalaman . . .

melihat dan mendengarkan pagelaran . . .

wayang Jawa.

Selasa, 17 November 2009

Disfungsi Presiden

Di banyak sekali tempat dan forum yang saya datangi belakangan ini, saya bersua dengan beragam kalangan yang memiliki keheranan serupa. Mereka heran, mengapa Presiden terlihat sangat lamban dan tak tegas dalam perkara percekcokan yang semakin panas di antara institusi kepolisian dan Kejaksaan Agung di satu sisi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi di sisi lain.

Alih-alih tercitrakan sebagai pemimpin yang pandai menjaga langkah dalam koridor hukum, Presiden di mata banyak kalangan itu tampil sebagai pemimpin yang kikuk dan seolah terpasung dalam ruang gerak amat terbatas. Presiden tampil sebagai pemilik kekuasaan besar yang seolah tak tahu menggunakan kekuasaan itu dengan sepatutnya.

Izinkan saya menamai gejala itu sebagai ”disfungsi Presiden”. Presiden yang semestinya menampilkan diri sebagai pemimpin yang kuat dan berpendirian justru tergagap-gagap bersikap dan tertatih-tatih dalam ruang gerak sempit.

Bukankah Presiden baru saja meraup dukungan legitimasi yang amat kuat dari 60,8 persen pemilih? Bukankah Presiden sekarang disokong oleh Partai Demokrat yang berpostur tiga kali lebih besar dibandingkan dengan postur partai ini selepas Pemilu 2004 dulu? Mengapa dalam situasi yang penuh keleluasaan itu justru terbangun disfungsi Presiden? Apa konsekuensi-konsekuensi genting dari situasi ini?

Empat dugaan

Dengan data serba terbatas, sulit menjawab rentetan pertanyaan di atas secara meyakinkan. Namun, sebagai langkah awal, mari kita buat sejumlah dugaan.

Pertama, boleh jadi Presiden adalah korban dari kalut dan tidak kredibelnya lingkaran-lingkaran politik atau birokrasi di sekitarnya. Presiden menerima informasi dan data yang tidak akurat mengenai situasi sehingga akhirnya mengambil langkah atau kebijakan yang tak layak.

Meminjam terminologi yang kerap digunakan di Amerika Latin, yang terjadi adalah gejala ”buramnya kaca istana”. Lingkaran politik dan birokrasi di sekitar Presiden alih-alih memperjelas justru mengaburkan pandangan Presiden ke luar istananya. Buramnya kaca istana membuat Presiden keliru menilai situasi dan mengambil langkah.

Rakyat, yang berteriak marah di luar istana, dari balik kaca itu terlihat seperti tersenyum bersukacita. Suasana gaduh centang-perenang di luar terlihat dari balik kaca itu sebagai tenteram penuh kedamaian.

Begitulah, dalam kasus perseteruan kepolisian melawan KPK, Presiden yang semestinya mengambil langkah sigap dan patut sejak beberapa bulan lampau akhirnya tak mengambil langkah apa pun. Menurut teori ini, disfungsi Presiden adalah akibat serta-merta dari ketidakmampuan dan tiadanya kredibilitas lingkaran politik dan birokrasi dalam istana.

Kedua, ketidaksigapan Presiden dalam kasus cicak melawan buaya ini boleh jadi menggambarkan karakter atau tabiat Presiden yang memang tak mampu bersigap-sigap. Boleh jadi, disfungsi Presiden menunjukkan tabiat sejati Presiden sebagai seseorang yang cenderung lamban dalam menjejeri dinamika publik yang serba cepat.

Jika teori ini digunakan, yang kita temukan di balik ketidaksigapan langkah Presiden adalah sebuah kualitas kepemimpinan yang bermasalah. Artinya, Presiden terlampau lemah untuk mengatasi percekcokan antara kepolisian-kejaksaan dan KPK.

Ketiga, Presiden memiliki kepentingan-kepentingan tersembunyi dalam kaitan dengan kasus ini. Banyak orang makin keras menduga bahwa kasus cicak versus buaya sebetulnya merupakan puncak sebuah gunung es. Di baliknya diduga ada tumpukan persoalan atau skandal lain yang sejauh ini masih tersamar atau tersembunyi.

Dalam teori ini, Presiden pun menjadi kikuk berhadapan dengan tuntutan dan aspirasi khalayak lantaran berkepentingan menyelamatkan diri dan/atau orang-orang di sekitarnya.

Keempat, sebagian kalangan menduga, jangan-jangan ketidaksigapan dan ketaklayakan Presiden dalam perseteruan cicak melawan buaya sesungguhnya menegaskan betapa Presiden sesungguhnya tak menyokong penegakan hukum secara genuine. Sebagian kalangan bahkan mulai menduga, jangan-jangan Presiden justru berkepentingan membikin percekcokan itu tak selesai secara tuntas.

Manajemen krisis

Sebagaimana lazimnya dugaan, keempat penjelasan itu mungkin saja keliru. Namun, terlepas dari kemungkinan kekeliruan ini, ada satu fakta yang sulit disembunyikan: Presiden sejauh ini tidak berhasil menjalankan fungsi manajemen krisis.

Di berbagai belahan dunia, banyak pemimpin yang dinilai berhasil lantaran mampu memainkan fungsi manajemen krisis. Bahkan, untuk menjawab tuntutan antisipasi, banyak pemimpin yang bekerja berdasarkan ”skenario krisis di tengah tak adanya krisis”. Arjen Boin dan kawan-kawan (The Politics of Crisis Management: Public Leadership under Pressure, 2005) menyebut cara kerja semacam itu sebagai salah satu garansi sukses kepemimpinan dalam meminimalkan risiko.

Hari-hari ini saya gundah sebab Presiden justru bekerja dengan logika sebaliknya. Di tengah krisis yang makin menegas—krisis kepercayaan terhadap institusi kepolisian, kejaksaan, kepresidenan, peradilan, dan penegakan hukum—Presiden justru bekerja berbasis ”skenario tanpa krisis”. Saya gundah karena jika cara kerja ini dilanjutkan, boleh jadi kita sedang menabur banyak angin untuk akhirnya harus menuai badai.

Tentu saja, sebagai warga negara, saya berharap kegundahan dan kekhawatiran itu bertepuk sebelah tangan.

EEP SAEFULLOH FATAH CEO PolMark Indonesia

Senin, 16 November 2009

Komitmen, Bukan Hanya Pidato

Beberapa kali rilis Transparansi Internasional Indonesia, bahwa institusi kepolisian, kejaksaan, dan partai politik sebagai lembaga terkorup, hari-hari ini kian terbukti. Kecuali Partai Hati Nurani Rakyat, tak satu pun parpol lain yang mengecam kriminalisasi sistematis terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mengapa dan ke mana arah kasus ini bergulir?

Alih-alih mengecam tindak kriminalisasi atas KPK yang bertentangan dengan akal sehat, parpol di DPR justru memberi panggung kepada kepolisian untuk membela diri. Komisi III DPR yang mengundang Kepala Polri dan jajarannya bahkan berpihak kepada absurditas proses penegakan hukum yang dilakukan institusi kepolisian. Karena itu, wajar jika sejumlah kalangan menyindir DPR tak lebih sebagai ”humas” kepolisian yang mencoba melawan aspirasi rakyat dan rasa keadilan masyarakat.

Rekaman rekayasa upaya kriminalisasi KPK yang jelas dan diperdengarkan berjam-jam di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu seolah tidak ada artinya. Hati rakyat yang terluka oleh pembebasan Anggodo Widjojo kian teriris ketika ternyata sikap politisi parpol setali tiga uang dengan unsur kepolisian dan kejaksaan yang memperdagangkan keadilan atas nama proses hukum. Mengapa?

Masa bulan madu

Pada umumnya parpol kita tidak memiliki komitmen pemberantasan korupsi. Kerja sama, aliansi, dan koalisi antarparpol lebih diikat oleh kepentingan jangka pendek yang bersifat transaksional-kolutif ketimbang persamaan ideologis dan program di antara mereka.

Studi Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel (2009), menggarisbawahi, kerja sama dan koalisi antarparpol lebih diikat kepentingan bersama untuk mengamankan sumber-sumber keuangan bagi mereka sendiri ketimbang kepentingan rakyat. Tak mengejutkan apabila parpol di DPR juga ”geram” terhadap KPK yang mengadili dan bahkan mengirim rekan-rekan mereka sesama politisi ke penjara.

Di sisi lain, saat ini adalah masa ”bulan madu” antara parpol dan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah memperoleh jatah kursi menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, parpol-parpol koalisi yang mendominasi DPR merasa tidak enak berseberangan dengan sikap Presiden Yudhoyono yang cenderung membenarkan langkah-langkah absurd penegakan hukum oleh institusi kepolisian. Karena itu, tidak mustahil tesis Ambardi tentang politik kartel berlaku pula dalam konteks relasi dan persamaan sikap antara parpol di DPR dan Presiden Yudhoyono.

Realitas politik yang berlangsung dewasa ini benar-benar merupakan ironi bagi negeri kita yang memberikan kepercayaan kembali kepada Yudhoyono. Betapa tidak, janji-janji manis pemilu yang dipidatokan dengan penuh retorika masih begitu segar dalam memori kita. Pakta integritas para elite politik bahkan belum kering ditandatangani.

Namun, tampaknya perburuan rente dan kekuasaan telah menjadi berhala baru bagi para elite politik sehingga apa pun suara publik cenderung dipandang sebagai nonfaktor dalam politik yang amat keruh dan konspiratif dewasa ini.

Ongkos politik

Namun, yang dilupakan para elite politik adalah bahwa gumpalan kekecewaan dan hati publik yang terluka hampir selalu ada batasnya. Gelombang dukungan publik atas Bibit-Chandra—dua unsur pimpinan KPK nonaktif yang akhirnya dibebaskan—yang melampaui satu juta orang di jejaring sosial Facebook, misalnya, tak bisa dipandang sekadar virtual belaka. Begitu pula aksi protes yang masih marak di sejumlah daerah merefleksikan begitu besar harapan masyarakat akan tegaknya keadilan, integritas pejabat publik, dan pemerintahan yang bersih.

Salah satu biaya politik yang harus dibayar bangsa ini adalah terus melembaganya ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga negara, institusi peradilan, dan para penyelenggara negara. Akumulasi ketidakpercayaan publik tidak bisa dianggap sepele. Jika tidak dikelola secara cerdas dan tepat, kekecewaan dan ketidakpercayaan bisa berujung apatisme masyarakat terhadap apa pun yang dilakukan negara dan atau pemerintah.

Biaya politik lebih besar harus ditanggung negeri kita jika semua ini berujung pada ketidakpercayaan terhadap Presiden Yudhoyono. Masyarakat memang tidak memiliki mekanisme langsung untuk mencabut mandat politik yang diberikan kepada Yudhoyono.

Namun, suatu pembangkangan sipil dan politik yang terorganisasi dan semakin terkonsolidasi tidak mustahil muncul beberapa waktu ke depan jika Presiden masih menyikapi tindak kriminalisasi atas rasa keadilan masyarakat ini secara normatif belaka.

Bukan pidato

Karena itu, sebelum ongkos politik lebih besar ditanggung negeri ini, berbagai kalangan mengetuk hati nurani Presiden Yudhoyono agar mengambil tindakan politik yang tegas, cerdas, dan tepat untuk menyelamatkan bangsa dari pemangsaan oleh para koruptor. Apabila ada indikasi ”bias” dalam proses hukum yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan, seperti ditemukan oleh Tim Pencari Fakta, Presiden tentu wajib mencampuri dan meluruskannya.

Sama sekali tidak benar jika Presiden selaku atasan langsung kepolisian dan kejaksaan membiarkan semua absurditas ini terus berlangsung atas nama ”proses hukum”. Yang tak boleh diintervensi oleh Presiden adalah proses hukum yang sedang berada di wilayah yudikatif, mulai dari pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Kita semua berharap, Presiden Yudhoyono tak sekadar pintar membangun citra untuk diri sendiri, tetapi juga memiliki komitmen besar dalam melawan konspirasi busuk koruptor dan para pejabat tak bertanggung jawab.

Sangat jelas, yang ditunggu rakyat bukan sekadar komitmen yang dipidatokan berapi-api, tetapi tindakan nyata.

Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI