Salah satu kisah dalam babad pewayangan yang populer di kalangan masyarakat Jawa adalah lakon Petruk Jadi Ratu. Lakon ini wujud sarkasme atas sebuah periode saat wibawa kerajaan ambruk, para bangsawan dan elite kerajaan sibuk berebut kuasa, adigang adigung adiguno (pamer jabatan dan kepongahan), dan nasib kawulo (rakyat) ditinggalkan. Pendeknya, situasi menggambarkan merajalelanya wabah ketidakpatutan.

Sebagai kawulo, Petruk geram dengan situasi ini, lantas muncul nafsu  rumongso iso (merasa bisa dan memproklamasikan diri menjadi raja. Namun, seperti kondisi yang dikritiknya, ia juga segera jatuh terjerembap ke kubangan buruk kekuasaan: gila kuasa-hormat-kemewahan. Setelah ditegur ayah sekaligus gurunya, Kiai Semar, Petruk lantas sadar, iso rumongso (bisa merasa) dan kembali melakoni perannya sebagai rakyat biasa yang berupaya tidak jadi beban negara.

Perlambang kusut nilai yang melahirkan fenomena banyak ”Petruk” kini juga tengah melanda Republik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyeret ratusan pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, dan swasta ke penjara. Namun, tak ada tanda-tanda kejahatan luar biasa itu surut atau berkurang. Bahkan, mulai dijumpai dorongan melakukan korupsi dipicu sifat rakus, serakah, dan tamak akibat kewenangan tanpa kontrol kuat.

Temuan KPK menyebut adanya praktik umum pola komitmen suap sebanyak 10 persen dari nilai sebuah proyek. Menurut  Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, terdapat kecenderungan pengusaha pemenang tender harus memberikan 5 persen untuk pejabat internal (kepala daerah dan instansi terkait) serta 5 persen untuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, jaksa, dan polisi (Tempo, 3/10/17).

Korupsi terstruktur dan sistemik di birokrasi bukan hanya merugikan rakyat dan negara, melainkan juga menabrak sumpah sakral aparatur negara: ”Demi Allah/atas nama Tuhan Yang Maha Esa, saya berjanji…senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada saya sendiri, seseorang atau golongan”(Pasal 66 Ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2014). Ironisnya, pakta integritas, pengawasan melekat, transparansi, dan akuntabilitas tak mengejawantah dalam tataran operasional yang terukur dan terbuka dinilai pengampu kepentingan.

Miskin watak dan otak

Dihubungkan dengan realitas bernegara dan berbangsa, anomali nilai tampak nyata dalam gerakan dan aksi melawan korupsi yang sepi peminat kecuali kalangan tertentu yang memiliki keprihatinan dan sadar bahwa korupsi sistemik menjadi ganjalan besar kemajuan bangsa. Hilangnya kepekaan atas bahaya besar korupsi membuat miris, tidak hanya menunjukkan ”kemiskinan nilai”, tetapi lebih dari itu, kedangkalan mengenali dan mengatasi sumber utama ancaman bangsa.

Sumber segala macam sengkarut ini tak pelak lagi adalah absennya pembangunan watak dan otak. Abai menyuburkan nurani dan intelektualitas melahirkan kemiskinan akal budi. Implikasinya antara lain muncul dalam bentuk ujaran kebencian, banjir deras informasi hoaks, saling serang di antara warga bangsa sendiri, maraknya akrobat tata nilai degil yang dipertontonkan elite negeri.

Meruyaknya perbincangan truisme (perkara remeh temeh) yang membanjiri medsos terus membelah persatuan bangsa, menghilangkan kepekaan memelihara kemajemukan dan meminggirkan upaya mengatasi tantangan dan masalah besar bersama (altruisme). Kita boleh berharap rembesan buruk revolusi komunikasi lewat medsos akhirnya berhenti. Namun, selama basis tindakan yang terbimbing akal budi belum mendarah daging, perilaku destruktif yang mengoyak kebersamaan akan tetap merajalela.

Setiap riak dan kegaduhan yang menyedot energi bangsa butuh determinasi, respons cepat dan tepat untuk menegaskan bahwa span of control berjalan efektif. Pembiaran berlarut untuk tujuan politik  dan segregasi perlahan akan menumpuk rasa tak percaya (distrust) pada sistem dan keandalan mengelola perbedaan. Kekeringan sumber-sumber kenegarawanan mengemuka karena parpol alpa menyemai kader dan lalai meletakkan tujuan utama politik, yakni memajukan bangsa. Berpolitik akhirnya sekadar menjadi alat meraih kekuasaan, menumpuk modal, serta melanggengkan oligarki dan kekerabatan. Sejak reformasi, parpol kehilangan arah dan gagal memerangi musuh besar bersama: korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Di masa tak terlalu jauh, satu dua dekade ke depan, kita dihadapkan persoalan krisis energi, ketersediaan air, dan kedaulatan pangan. Pengelolaan dan peta jalan untuk mengatasi ketiga masalah besar ini belum menumbuhkan optimisme dan kurang melibatkan partisipasi publik secara masif. Konsolidasi tata ruang, simbiose kepentingan dan integrasi antarwilayah, serta kebijakan afirmasi masih terhadang pengaturan berlebihan (over-ruled), tumpang tindih regulasi, dan ego sektoral. Kemiskinan, ketimpangan, dan keterbelakangan awet sebagai problem laten berderajat tinggi yang membutuhkan pendekatan radikal dan holistik. Ketiga masalah itu sebagian besar merupakan resultan dari korupsi endemik yang menjangkiti birokrasi.

Dari rezim ke rezim, upaya mengurangi masalah itu belum memberi jaminan perbaikan mendasar dan tepat sasaran. Pemecahan seluruh persoalan ini berhubungan erat dengan kebijakan dan aksi pemerintah. Reformasi birokrasi, penegakan hukum, perbaikan tata kelola pemerintahan, dan sinergi pusat-daerah semestinya diperkuat agar berperan menjadi salah satu kunci penyelesaian dan bukan justru menjadi akar persoalan. Ulasan Kompas (20/10) mengirim pesan jelas, pembangunan infrastruktur masif di seluruh daerah dapat berubah menjadi bumerang bagi rakyat setempat jika pemda tak tanggap merespons dampaknya. Pembangunan jalan tol, misalnya, akan menyebabkan jalur lama ditinggalkan pengguna transportasi sehingga kota-kota tertentu jadi sepi dan ditinggalkan investor. Kondisi ini bisa menimbulkan masalah baru yakni munculnya pengangguran.

Daulat rakyat

Bangunan demokrasi kita kian mereduksi partisipasi rakyat sekadar jadi konstituen, penyumbang suara. Keterwakilan dan aspirasi rakyat terpinggirkan orientasi fragmentaristik. Artikulasi kekecewaan rakyat sering diekspresikan dengan menempuh aksi jalanan dan vandalisme akibat tersumbatnya saluran mediasi publikrepublik. Kekosongan dialog di setiap level persoalan bakal menyisakan endapan kekecewaan yang setiap saat dapat meledak dalam aneka bentuk katarsis sosial.
Sejak reformasi, kita mengalami entropi bernegara dan berbangsa justru ketika infrastruktur dan suprastruktur politik banyak dibangun untuk mengawal demokrasi. Paradoks ini menguat dan lambat laun mengubah arah dan tujuan demokrasi hanya sekadar mengutamakan mekanisme prosedural dan melayani kepentingan terbatas.  Kita juga telah diingatkan dan membuktikan, pertumbuhan ekonomi tinggi, laju pesat investasi, dan angka-angka agregat makro positif tak serta-merta dapat mengurangi kemiskinan dan ketimpangan secara signifikan. Daya dorong dan daya ungkit dari dalam (inner power) lewat aneka mantra pemberdayaan butuh bahan baku utama berupa merata dan meningkatnya kualitas manusia.

Pemimpin sejati hormat dan menjunjung tinggi daulat rakyat, menyingkirkan ranjau-ranjau berbahaya bagi rakyatnya kelak. Ia tak akan menunda kerusakan atau menoleransi semua gerakan yang menggerogoti aset imaterial (persatuan, keberagaman, kemuliaan) dan material (kekayaan negara). Pemimpin besar mewariskan legasi berupa landasan kokoh bagi kemajuan  berkelanjutan. Ia bertindak dan bekerja sesuai tantangan nubuat zaman. Pembangunan watak dan otak manusia selalu menjadi ikhtiar pokok karena itulah sumber penggerak utama perubahan meraih kemajuan.
Petruk-Petruk baru mungkin masih akan terus bermunculan akibat sistem politik korup dan lemah kontrol. Namun, harapan masih ada manakala terdapat kemauan kuat untuk menemukan kembali pangkalan kemajuan hakiki. Jalan ke arah itu butuh kesabaran dan kesediaan menampung proses deliberasi untuk memperoleh dukungan publik secara kuat dan nyata. Simpul-simpul penggerak perubahan perlu diperluas antara lain dengan memanfaatkan ketersediaan ”orang baik, pintar, dan kritis” yang terpanggil dan sukarela menyumbangkan darma bakti.

Oleh Suwidi Tono,Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”