Selasa, 17 November 2009

Disfungsi Presiden

Di banyak sekali tempat dan forum yang saya datangi belakangan ini, saya bersua dengan beragam kalangan yang memiliki keheranan serupa. Mereka heran, mengapa Presiden terlihat sangat lamban dan tak tegas dalam perkara percekcokan yang semakin panas di antara institusi kepolisian dan Kejaksaan Agung di satu sisi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi di sisi lain.

Alih-alih tercitrakan sebagai pemimpin yang pandai menjaga langkah dalam koridor hukum, Presiden di mata banyak kalangan itu tampil sebagai pemimpin yang kikuk dan seolah terpasung dalam ruang gerak amat terbatas. Presiden tampil sebagai pemilik kekuasaan besar yang seolah tak tahu menggunakan kekuasaan itu dengan sepatutnya.

Izinkan saya menamai gejala itu sebagai ”disfungsi Presiden”. Presiden yang semestinya menampilkan diri sebagai pemimpin yang kuat dan berpendirian justru tergagap-gagap bersikap dan tertatih-tatih dalam ruang gerak sempit.

Bukankah Presiden baru saja meraup dukungan legitimasi yang amat kuat dari 60,8 persen pemilih? Bukankah Presiden sekarang disokong oleh Partai Demokrat yang berpostur tiga kali lebih besar dibandingkan dengan postur partai ini selepas Pemilu 2004 dulu? Mengapa dalam situasi yang penuh keleluasaan itu justru terbangun disfungsi Presiden? Apa konsekuensi-konsekuensi genting dari situasi ini?

Empat dugaan

Dengan data serba terbatas, sulit menjawab rentetan pertanyaan di atas secara meyakinkan. Namun, sebagai langkah awal, mari kita buat sejumlah dugaan.

Pertama, boleh jadi Presiden adalah korban dari kalut dan tidak kredibelnya lingkaran-lingkaran politik atau birokrasi di sekitarnya. Presiden menerima informasi dan data yang tidak akurat mengenai situasi sehingga akhirnya mengambil langkah atau kebijakan yang tak layak.

Meminjam terminologi yang kerap digunakan di Amerika Latin, yang terjadi adalah gejala ”buramnya kaca istana”. Lingkaran politik dan birokrasi di sekitar Presiden alih-alih memperjelas justru mengaburkan pandangan Presiden ke luar istananya. Buramnya kaca istana membuat Presiden keliru menilai situasi dan mengambil langkah.

Rakyat, yang berteriak marah di luar istana, dari balik kaca itu terlihat seperti tersenyum bersukacita. Suasana gaduh centang-perenang di luar terlihat dari balik kaca itu sebagai tenteram penuh kedamaian.

Begitulah, dalam kasus perseteruan kepolisian melawan KPK, Presiden yang semestinya mengambil langkah sigap dan patut sejak beberapa bulan lampau akhirnya tak mengambil langkah apa pun. Menurut teori ini, disfungsi Presiden adalah akibat serta-merta dari ketidakmampuan dan tiadanya kredibilitas lingkaran politik dan birokrasi dalam istana.

Kedua, ketidaksigapan Presiden dalam kasus cicak melawan buaya ini boleh jadi menggambarkan karakter atau tabiat Presiden yang memang tak mampu bersigap-sigap. Boleh jadi, disfungsi Presiden menunjukkan tabiat sejati Presiden sebagai seseorang yang cenderung lamban dalam menjejeri dinamika publik yang serba cepat.

Jika teori ini digunakan, yang kita temukan di balik ketidaksigapan langkah Presiden adalah sebuah kualitas kepemimpinan yang bermasalah. Artinya, Presiden terlampau lemah untuk mengatasi percekcokan antara kepolisian-kejaksaan dan KPK.

Ketiga, Presiden memiliki kepentingan-kepentingan tersembunyi dalam kaitan dengan kasus ini. Banyak orang makin keras menduga bahwa kasus cicak versus buaya sebetulnya merupakan puncak sebuah gunung es. Di baliknya diduga ada tumpukan persoalan atau skandal lain yang sejauh ini masih tersamar atau tersembunyi.

Dalam teori ini, Presiden pun menjadi kikuk berhadapan dengan tuntutan dan aspirasi khalayak lantaran berkepentingan menyelamatkan diri dan/atau orang-orang di sekitarnya.

Keempat, sebagian kalangan menduga, jangan-jangan ketidaksigapan dan ketaklayakan Presiden dalam perseteruan cicak melawan buaya sesungguhnya menegaskan betapa Presiden sesungguhnya tak menyokong penegakan hukum secara genuine. Sebagian kalangan bahkan mulai menduga, jangan-jangan Presiden justru berkepentingan membikin percekcokan itu tak selesai secara tuntas.

Manajemen krisis

Sebagaimana lazimnya dugaan, keempat penjelasan itu mungkin saja keliru. Namun, terlepas dari kemungkinan kekeliruan ini, ada satu fakta yang sulit disembunyikan: Presiden sejauh ini tidak berhasil menjalankan fungsi manajemen krisis.

Di berbagai belahan dunia, banyak pemimpin yang dinilai berhasil lantaran mampu memainkan fungsi manajemen krisis. Bahkan, untuk menjawab tuntutan antisipasi, banyak pemimpin yang bekerja berdasarkan ”skenario krisis di tengah tak adanya krisis”. Arjen Boin dan kawan-kawan (The Politics of Crisis Management: Public Leadership under Pressure, 2005) menyebut cara kerja semacam itu sebagai salah satu garansi sukses kepemimpinan dalam meminimalkan risiko.

Hari-hari ini saya gundah sebab Presiden justru bekerja dengan logika sebaliknya. Di tengah krisis yang makin menegas—krisis kepercayaan terhadap institusi kepolisian, kejaksaan, kepresidenan, peradilan, dan penegakan hukum—Presiden justru bekerja berbasis ”skenario tanpa krisis”. Saya gundah karena jika cara kerja ini dilanjutkan, boleh jadi kita sedang menabur banyak angin untuk akhirnya harus menuai badai.

Tentu saja, sebagai warga negara, saya berharap kegundahan dan kekhawatiran itu bertepuk sebelah tangan.

EEP SAEFULLOH FATAH CEO PolMark Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar