Kamis, 06 Agustus 2009

Ibn Sina: Pangeran Para Dokter

PENGANTAR. Merupakan kewajiban bagi kita untuk membicarakan Ibn Sina bila kita tengah membahas ilmu kedokteran baik ditinjau secara umum maupun khusus Islam. Tokoh yang dijuluki sebagai Syaikh al-Rais (Pemimpin para Cendekiawan) ini memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi dunia kedokteran sehingga para dokter mana pun selayaknya tidak akan melupakan atau mengabaikannya. Filsuf besar Muslim ini lebih dikenal sebagai "Pangeran Para Dokter" di dunia Barat selama berabad-abad dan di dunia Timur hingga saat ini. Di Barat ia dikenal dengan Avicenna.
Banyak sejarawan yang memuji kecemerlangan prestasi ilmiah yang dicapai Ibn Sina. Kontribusi Ibn Sina terhadap pemikiran dan ilmu pengetahuan amatlah besar dan diakui berpengaruh signifikan kepada para ilmuwan, pemikir dan filsuf generasi-generasi sesudahnya. Berkat prestasinya dalam ilmu medis, Ibn Sina memperoleh julukan "Father of Doctors" (Bapak Para Dokter). Mehdi Narkosteen dalam Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Risalah Gusti, Surabaya, 1996) menyebutkan bahwa dunia Islam dan Eropa berhutang budi kepada Ibn Sina, terutama dalam ilmu kedokteran, suatu hutan yab tak terhitung, sebagai seorang peneliti ilmu pengobatan klinis terbesar dalam Islam.
Natsir Arsyad dalam Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah (Mizan, Bandung, 1989) menyebutkan bahwa dokter kawakan Ibn Sina pernah dijuluki sebagai Medicorum Principal atau "Raja Diraja Dokter", oleh kaum Latin Skolastik. Julukan lain yang pernah diberikan kepada Ibn Sina, misalnya, adalah "Raja Obat". Dalam dunia Islam sendiri, ia dianggap sebagai zenith, puncak tertinggi dalam ilmu kedokteran.

RIWAYAT SINGKAT
Ibn Sina lahir di Afsyana, daerah dekat Bukhara, tahun 980 M, dalam keluarga Persia yang gemar sekali belajar. Ia mulai belajar pada usia dini, 5 tahun. Ketika berumur 10 tahun, ia telah hafal Al-Quran dan menguasai gramatika, sastra dan malah sedikit teologi. Kemudian berturut-turut ia belajar ilmu-ilmu agama, kedokteran, astronomi, matematika, fisika, logika, dan metafisika. Sebagai otodidak yang amat brilian, Ibn Sina menguasai ilmu kedokteran hanya dalam waktu satu setengah tahun setelah ia melampaui gurunya sendiri Isa bin Yahya. Disebutkan bahwa pada usia 18 tahun ia telah menguasai semua sains zamannya, sehingga sejak itu ia otodidak dalam menekuni pelbagai disiplin sains dan mengembangkannya.
Diriwayatkan juga bahwa pada usia 18 tahun itulah Ibn Sina telah mulai terjun ke lapangan sebagai dokter praktek. Ibarat sebuah dongeng, saat masih berusia muda belia itu ia berhasil mengobati penyakit yang diderita oleh Sultan Nuh II bin Mansur di Bukhara pada tahun 997 M. Padahal, waktu itu penyakit Sultan sudah tergolong parah dan dokter-dokter lain bahkan hampir putus asa. Namun, Ibn Sina berhasil menyembuhkannya, dan sejak itulah ia diangkat menjadi dokter pribadi di istana Sultan. Disebutkan pula bahwa ketika Ibn Sina ditawari berbagai hadiah besar oleh Sultan, ia hanya meminta untuk diizinkan membaca buku-buku dan manuskrip-manuskrip ilmiah yang terdapat pada perpustakaan di lingkungan istana.
Ibn Sina meninggal di Hamadan, Persia, dalam usia 58 tahun, pada bulan Ramadhan 1037 M. Ia dimakamkan di sana, yang sekarang termasuk negara Iran bagian barat. Dan dalam rangka memperingati 100 tahun hari kelahirannya (Fair Millenium) di Teheran pada tahun 1955 dilangsungkan Konperensi Internasional tentang Prestasi Ilmu Medis Ibn Sina. Dalam momen itu, Ibn Sina dinobatkan sebagai "Father of Doctor" untuk selama-lamanya, dan untuk itu telah dibangun sebuah monumen sejarah. Sedangkan makam Ibn Sina di Hamadan dikepung oleh berpuluh-puluh makam para dokter; agaknya mereka cukup bangga dapat dikuburkan dalam deretan "Bapak Dokter Islam" itu. Makam itu hingga kini dikunjungi oleh wisatawan domestik dan asing dengan penuh rasa hormat.

QANUN: ENSIKLOPEDI KEDOKTERAN
George Sarton, penulis buku terkenal A History of Science (Harvard University Press, New York, 1952) menyatakan bahwa prestasi medis Ibn Sina sedemikian lengkap sehingga mengecilkan sumbangan yang lainnya dari seluruh dunia, seolah-olah mereka hanya membuat penemuan yang lebih kecil, dan sementara itu penyelidikan orisinal menyusut beberapa abad setelah masa Ibn Sina. Sarton juga menguraikan pengaruh Ibn Sina yang sangat besar terhadap ruang lingkup dan perkembangan ilmu kedokteran Barat. Karya ilmiah (textbook) Ibn Sina merupakan referensi dasar dan utama ilmu medis di Eropa dalam periode waktu yang lebih panjang dari buku-buku lainnya yang pernah ditulis.
Ajram (The Miracle of Islamic Science) menambahkan bahwa buku teks Ibn Sina adalah sumber primer dan, dalam beberapa kasus, menjadi satu-satunya referensi pendidikan medis di Eropa selama beberapa abad. Ajram mengutip hasil penelitian Louvian University yang mengungkap catatan-catatan klasik bahwa teks-teks Ibn Sina dan al-Razi dipandang sebagai satu-satunya referensi otentik sampai tahun 1600-an (the only authentic references until the 1600's).
Agaknya kontribusi terpenting Ibn Sina yang diwariskan kepada dunia kedokteran adalah masterpiece-nya dalam ilmu medis, yaitu Qanun fi al-Thibb (Canon of Medicine, Konstitusi Ilmu Kedokteran). Seyyed Hossein Nasr dalam Science and Civilization in Islam (Cambridge, 1968) menyebutkan bahwa karya besar Qanun itu adalah karya yang paling banyak dibaca dan besar pengaruhnya pada ilmu medis Islam dan Eropa. Karya besar ini merupakan satu dari buku yang paling sering dicetak di Eropa pada masa Renaisans dalam terjemahan Latin-nya oleh Gerard dari Cremona. Buku teks standar ini terdiri dari lima bagian pokok: prinsip-prinsip umum, obat-obatan, penyakit organ-organ tertentu, penyakit lokal yang bertendensi menjalar ke seluruh tubuh, seumpama demam, dan obat-obatan majemuk.
Komisi Nasional Mesir untuk Unesco dalam Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan (Pustaka, Bandung, 1986) melaporkan bahwa Qanun Ibn Sina merupakan salah satu dari buku-buku terbesar di dunia, setingkat dengan karya Aristoteles, Euclides, dan Ptolemeus. Yang menonjol dari buku-buku semacam ini adalah sifatnya yang pasti (clearly, jelas). Buku-buku tersebut nampaknya memberikan jawaban tuntas terhadap semua persoalan. Sebagai buku-buku daras, buku-buku tersebut mestilah mempunyai kualitas-kualitas yang esensial bagi sebuah risalah umum; harus metodis, jelas dan otoritatif.
Qanun-nya Ibn Sina memiliki kualitas-kualitas tersebut sepenuhnya, bahkan barangkali dalam tajuk-tajuk masalah tertentu terlalu baik. Klasifikasinya memuaskan bagi pikiran yang logis, bahkan ketika ia tidak mengindahkan apa yang terjadi dalam praktek yang aktual. Asalkan kita mau menerima prinsip-prinsip dasarnya, ajaran-ajarannya akan nampak jelas, barangkali terlalu jelas untuk memungkinkan penentangan. Karya itu sedemikian otoritatif sehingga mampu menelanjangi siapa pun yang coba-coba untuk menentang proposisi-proposisinya.
Sementara itu, Arsyad (1989) menyebutkan bahwa buku Qanun Ibn Sina sejak zaman dinasti Han di Cina telah menjadi buku standar karya-karya medis Cina. Pada Abad Pertengahan, sejumlah besar karya Ibn Sina telah diterjemahkan dalam bahasa Latin dan Hebrew, yang merupakan bahasa-bahasa pengantar ilmu pengetahuan masa itu. Qanun telah dianggap sebagai "buku sucinya ilmu kedokteran" yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa dan telah menjadi buku yang menguasai dunia pengobatan Eropa selama kurang lebih 500 tahun. Qanun juga digunakan sebagai buku teks kedokteran di berbagai universitas di Perancis, katakanlah misalnya, Sekolah Tinggi kedokteran Montpellier dan Louvin pada abad ke-17 M.
Sejarawan Prof. Philip K. Hitti menyebut buku tersebut sebagai "Ensiklopedi Kedokteran". Pada 30 tahun terakhir dari abad ke-15 M, buku tersebut telah mengalami 15 kali penerbitan versi bahasa Latin dan sekali dalam bahasa Hebrew. Beberapa tahun kemudian barulah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Antara tahun 1150 - 1187 M, Gerard dari Cremona menerjemahkannya ke dalam berbagai bahasa Perancis, Spanyol, Hebrew, Itali dan sebagainya. Dalam abad ke-16 M saja, buku tersebut telah dicetak ulang berkali-kali, lebih dari 21 kali. Penerbitan berpuluh kali ini belum lagi termasuk penerbitan yang hanya mengambil bagian-bagian tertentu dari buku ini, yang jumlahnya tak terhitung lagi. Arsyad lalu menambahkan bahwa penerbitan Qanun dalam bentuk salinan langsung, terjemahan, komentar ataupun yang lainnya, berlangsung terus menerus sampai abad ke-18 M.

Oleh Husain Heriyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar