Rabu, 05 Agustus 2009

sambungan konsep iman, islam dan ihsan 5

EMPAT PULUH EMPAT
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” (Kitab Mantra Yoga, hlm. 63).
Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya, dikarenakan multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut. Secara garis besar maknanya adalah, “Pernyataan roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah, yang menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.”
Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang disebut mir’ah al-haya’ (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yang menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu (adhep-idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia yang menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
EMPAT PULUH LIMA
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” .
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yang bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulana, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu, dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib Memimpin.
Karena itu Dialah yang menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.
Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana, dan sebagainya. Semua itu produk akal sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan Nama-Nya.
EMPAT PULUH LIMA
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.” .
Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yang menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana af’al itu dipancarkan.
EMPAT PULUH LIMA
“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.” (Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 182-283).
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar